TEMPO.CO, Hong Kong – Unjuk rasa anti-pemerintah Hong Kong terjadi di sejumlah jalan utama pada Senin pagi, 1 Juli 2019.
Baca juga: Cina Dukung Hong Kong Soal RUU Ekstradisi
Unjuk rasa ini memperingati penyerahan kembali Hong Kong dari Inggris kepada Cina, yang terjadi pada 1 Juli 1997.
Kota semi-otonom ini telah dilanda unjuk rasa besar-besaran sejak awal Juni saat warga menolak amandemen UU Ekstradisi. Legislasi ini memungkinkan pemerintah Hong Kong dan lembaga peradilan di wilayah itu melakukan ekstradisi warga ke negara lain yang tidak memiliki hubungan kerja sama yurisdiksi.
Ini membuat warga merasa khawatir mereka akan menjadi sasaran permintaan ekstradisi oleh pemerintah Cina karena dianggap melanggar aturan di sana.
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
“Barisan polisi anti-huru hara terlihat berbaris mengenakan helm dan membawa tameng menghadapi pengunjuk rasa di salah satu jalan,” begitu dilansir Channel News Asia pada Senin, 1 Juli 2019.
Sam Mu, seorang seniman, bersama sekelompok kecil teman terlihat mengibarkan bendera hitam di salah satu jalan Hong Kong, yang bakal menjadi lokasi upacara.
“Bendera ini adalah simbol bahwa kota ini mulai jatuh,” kata dia. “Kebebasan kota kami menciut. Dan, arahnya semakin otoriterianisme,” kata dia.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Seorang warga, Jason Chan, 22 tahun, mengatakan,”Apapun ang terjadi kami tidak akan berkecil hati. Itu sebabnya kami akan selalu turun ke jalan.”
Ada anggapan pemerintah Hong Kong cenderung berpihak ke pemerintah Cina. Sikap keras aparat keamanan dalam menangani unjuk rasa telah menimbulkan kecaman dan dianggap melanggar HAM.
Pemerintah Inggris membekukan penjualan berbagai peralatan anti-huru hara ke Hong Kong hingga dilakukannya investigasi independen soal tindak kekerasan polisi saat menghadapi massa pengunjuk rasa pada pertengahan Juni lalu.
Baca juga: 1 Juta Warga Hong Kong Demo Tolak RUU Ekstradisi Cina
Meskipun Hong Kong telah dikembalikan kepada Cina, wilayah ini masih dikelola secara terpisah dengan mengadopsi konsep satu negara, dua sistem. Ini artinya Hong Kong menganut sistem demokrasi sedangkan Cina menganut sistem komunis.
Sistem ini membuat warga menikmati kebebasan berekspresi, yang tidak terjadi di Cina. Namun, sejumlah warga merasa khawatir Beijing mulai berusaha mengurangi kebebasan ini.
Aktivis pro-demokrasi telah mengorganisasi aksi massa untuk memperingati penyerahan Hong Kong ke Cina sebagai bentuk tekanan untuk meminta kebebasan demokrasi yang lebih besar. Misalnya, hak untuk memilih pemimpin Hong Kong, yang saat ini merupakan hasil penunjukan dari Beijing.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, yang dikecam karena mengusulkan amandemen legislasi soal ekstradisi, bakal menghadiri upacara pagi untuk menaikkan bendera.
Isu amandemen dan tindak kekerasan polisi di Hong Kong memicu publik mendesaknya untuk mengundurkan diri. Lam belum mengundurkan diri namun tingkat dukungan publik Hong Kong merosot.